Aisyah dan Wanita Berkerudung Putih

Aisyah, seorang bocah cilik perempuan berusia 10 tahun ini adalah anak yang sangat ceria walaupun ia hanya hidup berdua dengan Neneknya di gubuk reyot di sebuah pelosok desa. Ia biasanya dipanggil dengan nama kecil ‘Ais’. Ais tidak pernah memikirkan kondisinya yang hidup tanpa belas kasihan orang tua, karena Neneknya melarangnya untuk bertanya hal itu.

Suatu malam, Ais bermimpi aneh. Ia bermimpi sedang berjalan di sebuah koridor kosong dan gelap seorang diri. Namun, tiba-tiba cahaya datang dan menuju ke arahnya. Dicelah cahaya itu, Ais melihat sosok tubuh wanita berkerudung putih bercahaya, tetapi Ais tidak jelas melihat wajahnya karena terlalu silau. Wanita itu mendekati Ais dan mengecup keningnya sesaat, lalu menjauh pergi meninggalkannya hingga koridor itu kembali gelap gulita.

Ais terbangun dari mimpinya. Wajahnya berkeringat. Ais menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, memikirkan dan membayangkan kembali mimpinya barusan. Ia melihat jam dinding. Jarum jam menunjukkan pkl. 05.45 WIB. Ais segera beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil air wudhu untuk shalat Shubuh bersama Neneknya. Ternyata, Nenek sedang memakai mukena.

“Padahal, baru saja Nenek mau bangunkan kamu, Ais. Tumben, kamu bangun sendiri,” ujar Nenek sambil tersenyum. Ais membalas senyuman nenek dan berdiri di sebelah Nenek sebagai makmum.

“Allahu akbar…” Nenek bertakbiratul ihram, memulai ibadah, memulai munajat dengan Sang Pencipta.

Selesai shalat dan mencium tangan Nenek, Ais menceritakan mimpinya yang aneh itu. Nenek hanya tersenyum kecil dan berkata, “itu hanya mimpi, cu!” Ais pun mengangguk-angguk.

Keesokan harinya, Ais berangkat ke sekolah yang berjarak sekitar 7 meter dari rumahnya. Sebelum berangkat, ia diberi uang Rp.10.000 oleh Nenek. Setelah menyalami Neneknya, Ais keluar rumah dengan hati ceria. Saat melewati sebuah taman bermain, ia mengucapkan selamat pagi pada bunga-bunga yang ada.

Tiba di sekolah, Ais mengikuti pelajaran dengan serius hingga bel istirahat berbunyi. Ketika ia hendak ke kantin, ternyata uangnya hilang setelah ia memeriksa kantong bajunya. Di dalam tas pun tak ada. Ais sangat sedih, sebab ia sudah berjanji pada Nenek untuk berhemat. Akhirnya, Ais hanya berdiam diri di dalam kelas menunggu bel masuk berbunyi. Hingga akhirnya, ia ketiduran.

Sayang, jangan bersedih. Saat pulang nanti, carilah baik-baik di tempat  kamu dan teman-temanmu bermain…

Ais terbangun dari mimpinya.

“Wanita itu lagi. Ia muncul lagi di mimpiku,” ucap Ais. Ia kembali bermimpi tentang sosok wanita berkerudung putih yang misterius itu.

“Siapa kamu sebenarnya?” tanya Ais pada dirinya sendiri. Lalu, bel masuk pun berbunyi. Ais melupakan mimpinya dan kembali fokus pada pelajaran.

Setelah bel pulang berbunyi, Ais beranjak pulang. Tiba-tiba, ia teringat dengan mimpinya.

Ia segera pergi ke taman bermain yang tak jauh dari rumahnya. Matanya memandang setiap sudut yang ada di taman itu. Tiba-tiba matanya berhenti di sebuh pot bunga bougenville.

“Ini dia uangku! Alhamdulillah…” teriak Ais gembira.

“Ternyata benar kata wanita itu. Siapa sih dia? Aku harus bilang sama nenek,” ujar Ais.

Tiba di rumah, Ais menceritakan semuanya pada Nenek. Tetapi, Nenek tampak tidak terlalu merespon. Nenek hanya berkata, “itu cuma kebetulan. Kamu tidak boleh percaya dengan mimpi, Ais.” Ais mengangguk pelan dan segera masuk ke kamar.

Malam harinya…

Ais… tetaplah ceria dengan selalu memberikan senyuman dengan ikhlas. Jadilah cahaya bagi dirimu sendiri. Bersabarlah sayang… kamu pasti akan mendapatkan apa yang kamu inginkan…

Ais membuka matanya dengan nafas yang tersengal-sengal.

“Siapa kamu sebenarnya?” Ais terus bertanya dalam hati. Lagi-lagi, ia memimpikan wanita berkerudung putih itu. Ais tidak mengerti kata-kata yang diucapkan wanita itu.

Kejadian ini terus berlanjut. Hampir setiap malam Ais memimpikan wanita itu. Semakin lama, wajah wanita itu semakin jelas dimimpinya. Wanita itu sangat cantik. Ais sangat bahagia sebab setiap kata-kata wanita dalam mimpinya itu sangat menenangkan hatinya meski ia tak mengerti.

Hingga suatu siang di hari Sabtu, 2 pria tak dikenal dan berpakaian rapi datang ke rumah Ais. Nenek sangat kaget sebab jarang ada orang yang mau berkunjung ke rumahnya. 2 pria itu berkaca mata dan yang satunya membawa tas. Nenek segera mempersilahkan masuk kedua tamunya.

“Maaf, ada perlu apa ya?” tanya Nenek ragu-ragu. Ais hanya duduk diam di sebelah Nenek. Kedua tamu segera memperkenalkan diri masing-masing.

“Begini. Benarkah Anda yang bernama Farida? Dan anak ini bernama Aisyah Farhani?” tanya salah satunya.

“Nek, Ais baru tau kalau nama Ais ada ‘Farhani’ di belakangnya. Nenek tidak pernah bilang?” tanya Ais.

“Sshhh…. Biar Nenek jelaskan nanti,” jawab Nenek. Ais menunduk. Tampak 2 pria itu heran melihat tingkah Ais.

“Iya benar. Memangnya ada apa?” tanya Nenek lagi. Lalu, pria itu menceritakan bahwa Papa Ais yang bernama Hadi Farhani dan istrinya 2 minggu yang lalu meninggal dunia akibat kecelakaan beruntun di Surabaya. Lalu, beliau meninggalkan warisan pada Aisyah berupa sebuah rumah mewah beserta isinya. Mendengar hal itu, Ais kaget setengah mati.

“Papaku orang kaya? Papaku baru saja meninggal? Kata Nenek, Papa meninggal sebelum aku lahir dan Mama meninggal saat aku lahir,” pikir Ais. Nenek tampak sedih mendengar berita itu. Lalu, pria itu memperlihatkan surat wasiat dan warisan pada Nenek. Disitu tertera alamat rumah tersebut. Mata Nenek tampak berkaca-kaca. Pria itu mengatakan bahwa esok hari Aisyah harus diperkenankan untuk tinggal di rumah itu.

Setelah melaksanakan tugasnya, kedua pria itu segera berpamitan lalu pergi.

“Nenek. Ais tidak mengerti. Jelaskan semuanya yang jujur, Nek? Nenek bohong kan?” tanya Ais yang mulai menangis. Nenek pun menangis dan menceritakan semuanya.

“Iya. Nenek bohong. Tetapi, dengarkan penjelasan Nenek. Papa Ais adalah menantu Nenek. Saat Mama melahirkan Ais, Mama meninggal dunia dan yang merawat Ais adalah Nenek. Nenek sangat sedih kehilangan anak perempuan satu-satunya yang sangat Nenek cintai. Hingga akhirnya Papa menikah lagi, Mama tiri Ais tidak begitu baik dan tidak merawat Ais. Ia hanya mencintai Papa dan harta Papa. Bahkan Nenek tak dihiraukan. Akhirnya, Nenek memutuskan untuk merawatmu sendiri meski Papa tak setuju. Awalnya, Nenek juga orang mampu tetapi saat kamu berumur 2 tahun rumah Nenek terbakar dan akhirnya kita tinggal di rumah yang sempit ini. Nenek tak pernah ingin menemui Papa, apalagi Mama tirimu itu,” ucap Nenek panjang lebar.

Mendengar cerita itu, Ais menangis di pangkuan Nenek. Ia sangat ingin bertemu dengan orang tuanya. Ia meminta Nenek untuk tinggal di rumah itu. Awalnya, Nenek keberatan. Namun, setelah dibujuk Ais, akhirnya Nenek mengangguk.

“Kita lihat dulu, Ais. Kalau memungkinkan, kita akan tinggal disana,” kata Nenek. Kemudian, Ais dan Nenek beranjak ke kamar.

Keesokan harinya, Aisyah dan Nenek sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Papa Ais di daerah perkotaan. Ais sangat tidak sabar. Tiba disana, mata Ais terbelalak dan mulutnya terbuka. Ia takjub melihat sebuah rumah mewah 3 tingkat dan dipenuhi taman bunga, seperti istana. Nenek hanya tersenyum kecil.

“Assalamu’alaikum…” suara Nenek mengagetkan seorang satpam. Tampak si satpam heran. Sebelum satpam mengusir rasa herannya, tampak seorang pemuda tampan keluar dari rumah tersebut lalu menyuruh satpam membuka pintu gerbang. Ais dan Nenek segera masuk.

“Silahkan masuk… selamat datang kembali Nek Farida dan adik kecilku Aisyah…” sapa sang pemuda dengan ramah sambil tersenyum mempersilahkan.

“Nek, siapa dia?” tanya Ais. Sang pemuda menoleh pada Aisyah.

“Memangnya Nenek tidak pernah bilang?” tanya laki-laki itu. Nenek hanya menggeleng. Sang pemuda hanya menghela nafas.

“Aisyah, aku adalah kakak laki-lakimu. Kita berbeda umur 7 tahun. Kenalkan, nama kakak Mirza,” laki-laki yang bernama Mirza itu menawarkan salam. Aisyah pun menyalaminya.

“Rumah ini diwariskan untukmu, sedangkan perusahaan Papa untuk Kakak. Kakak sangat bahagia begitu tau kalau bakal punya adik. Perempuan lagi! Tetapi, begitu kamu lahir, justru Mama yang pergi. Saat ada Mama tiri, kamu dan Nenek minggat. Kakak sangat merindukanmu…” ucap Mirza.

“Ais datang, Mama pergi. Mama baru datang, Ais pergi. Ais jahat ya, kak?” tanya Ais polos.

“Hahaha… enggak… enggak… itu sudah takdir sayang…” jawab Mirza.

“Ais, ceritakan pada kakak sesuatu. Apa saja! Yang ingin kamu bagikan.”

Sambil melihat-lihat isi rumah, Aisyah menceritakan tentang mimpi anehnya tentang wanita berkerudung putih itu.

“Sayang… memang, kita tidak boleh percaya pada mimpi. Sebab mimpi itu hanya bunga tidur. Tetapi, apa pun yang kamu impikan ambil hikmahnya. Ambil yang baik buat kamu, dan buang yang jeleknya. Maka kamu akan tetap hidup bahagia. Siapa pun yang ada di dalam mimpimu, abaikan saja. Oke?” ujar Mirza.

“Oke!” Ais menjawab dengan menampakkan gigi-gigi susunya yang rapat.

“Kak?”

“Ya?”

“Ais mau lihat kamar Mama. Boleh kan?” tanya Ais lembut. Mirza mengiyakan.

Ais kembali tercengang melihat kamar Mama. Kamarnya seukuran dengan gubuk yang ia tempati selama ini. Kemudian, Mirza mengambil sebuah foto yang terbingkai indah.

“Ini Papa, Mama dan ini Kak Mirza waktu masih berumur 4 tahun,” kata Mirza sambil menunjuk foto dirinya. Ais menatap foto itu dengan tajam dan dalam. Tiba-tiba, air mata mengalir deras di pipinya. Ais tak dapat menahan tangisannya.

“Sudahlah, Ais. Kakak tau kamu kengen sama mereka. Jangan menangis lagi. Kakak dan Nenek ada disini bersamamu,” bujuk Mirza sambil menghapus air mata adik kecilnya.

“Iya. Ais memang kangen. Tapi, sebenarnya Ais bukan sedih. Ais senang. Senang banget. Karena wanita berkerudung putih yang selama ini ada di dalam mimpi Ais itu ternyata……Mama,” kata Ais.

Mirza kaget. Tetapi, ia menyembunyikannya dengan senyum manisnya.

“Itulah hikmah dari semua ini sayang. Meskipun kamu menggantikan posisi Mama di dunia, tetapi Mama dekat denganmu, kan? Bagaimana pun kami semua sayang sama Ais. Mama sering bilang sama kakak, tetaplah menjadi cahaya bagi dirimu sendiri. Jadi, jangan sedih lagi ya…” ujar Mirza.

“Mama juga pernah bilang gitu sama Ais. Tetapi, di dalam mimpi. Hehehe…” jawab Ais sambil menghapus air matanya. Ais terus mengucap syukur dalam hatinya.

Akhirnya, Nenek, Aisyah dan Mirza hidup bersama di rumah tersebut. Ais pun pindah sekolah. Ais sering menghabisi waktunya dengan Neneknya di rumah, sebab Kak Mirza sibuk dengan sekolah dan mengurus perusahaan Papanya. Ais selalu teringat dengan kata-kata Mama yang ada dalam mimpinya.

Ais… tetaplah ceria dengan selalu memberikan senyuman dengan ikhlas. Jadilah cahaya bagi dirimu sendiri. Bersabarlah sayang… kamu pasti akan mendapatkan apa yang kamu inginkan…

By  :  Alvi Rizka Aldyza

Tinggalkan komentar